Menggerakkan Energi dari Komunitas
Melalui GAWIREA, Icheiko ikut membangun pemahaman tentang energi terbarukan di komunitas yang paling terdampak krisis iklim. Bersama timnya, ia menjalankan program Net Zero Heroes, kurikulum pembelajaran energi bersih yang sudah menjangkau lebih dari 1.000 orang muda di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik. Sekitar 80 persen peserta adalah perempuan.
“Kami ingin orang muda tahu apa itu krisis iklim dan paham langkah praktis untuk menanganinya,” kata Icheiko.
Program ini mengajarkan dasar transisi energi, keadilan iklim, dan cara mengembangkan proyek kecil di komunitas masing-masing. Beberapa alumni kini menjalankan inisiatif seperti pengolahan sampah rumah tangga, konservasi mangrove, dan pemanfaatan panel surya di daerah terpencil.
Bagi Icheiko, memperjuangkan energi bersih berarti memberi ruang bagi masyarakat untuk bertahan. Ia melihat ketimpangan besar dalam akses terhadap listrik dan teknologi di berbagai wilayah Indonesia. “Banyak keluarga di daerah pesisir atau pulau kecil masih bergantung pada genset. Sementara kota besar membicarakan mobil listrik. Kesenjangan ini harus diubah,” ujarnya. Pengalaman di lapangan ini membentuk pandangannya tentang pentingnya demokratisasi kebijakan iklim.
Menegaskan Suara Selatan di Forum Dunia
Kiprah Icheiko membawanya terpilih di antara 16 pemimpin muda dari tiga benua yang mewakili lebih dari 10.700 peserta dari negara-negara Selatan yang berpartisipasi dalam program Pathway to the Democratization of the South, yang dipimpin oleh Life of Pachamama. Selama enam bulan, peserta mengikuti pelatihan kebijakan, komunikasi strategis, diplomasi iklim, serta evaluasi kepemimpinan.
Hasilnya adalah Deklarasi Pemuda Selatan Global, dokumen yang telah disampaikan di COP30 untuk menegaskan posisi orang muda dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam tata kelola iklim dunia.
Deklarasi tersebut menyerukan agar negara-negara maju menunaikan tanggung jawab iklimnya secara adil. Isinya menegaskan pentingnya pendanaan iklim yang bebas utang dan tanpa syarat, pelibatan orang muda dalam setiap tahap kebijakan, serta akuntabilitas perusahaan atas kerusakan lingkungan. Selain itu, deklarasi ini juga menuntut perlindungan bagi pembela lingkungan muda dari ancaman dan kriminalisasi, serta keterbukaan data dan informasi agar masyarakat dapat mengawasi kebijakan iklim secara transparan.
Pandangan ini juga dikuatkan oleh Juan David Amaya, Direktur Eksekutif Life of Pachamama. Menurutnya, COP30 menjadi momentum penting bagi generasi muda Selatan Global untuk menegaskan posisi politiknya. “Selama bertahun-tahun, wilayah Selatan hanya dipandang sebagai korban dari krisis iklim,” ujar Juan.
Ia menambahkan, “Delegasi yang terdiri dari orang muda dari Amerika Latin, Afrika, dan Asia menunjukkan bahwa kami adalah wilayah, gagasan, dan kekuatan politik. Kami tidak ingin sekadar mendapat tempat simbolis; kami menuntut agar keputusan kami juga diperhitungkan dalam membangun perjanjian iklim yang baru.”
Icheiko menyebut Democratization of the South sebagai gagasan penting untuk mengubah struktur pengambilan keputusan global. “Bagi saya, demokratisasi berarti mengembalikan kendali dan ruang keputusan kepada negara-negara Selatan Global, karena mereka yang paling terdampak oleh krisis, namun paling sedikit memiliki kuasa dalam menentukan arah solusinya. Suara kami tidak boleh hanya didengar; kami harus menjadi bagian dari pengambil keputusan.”
Semangat yang tertuang dalam deklarasi pun harus terus hidup di luar ruang konferensi. Ia percaya bahwa peran anak muda harus berlanjut melalui aksi nyata di tingkat komunitas. “Ke depan, saya berharap semakin banyak ruang kolaborasi yang menghubungkan anak muda, komunitas lokal, dan sektor swasta maupun pemerintah. Supaya gerakan iklim tidak berhenti di kampanye, tapi tumbuh menjadi ekosistem yang mendukung energi terbarukan, ekonomi biru, dan ketahanan masyarakat dari akar rumput,” ujarnya.
Bagi Icheiko, harapan itu sederhana namun penting. Ia ingin setiap negara memiliki ruang yang setara untuk menentukan masa depan bumi bersama. (**)
